Senin, 29 September 2014

Hayaa


Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji Syukur Alhamdulillah selalu kita panjatkan kepada Allah SWT karna Rahmat dan Hidayah-Nya kita masih bisa menikmati betapa indahnya kehidupan di dunia ini.
Shalawat serta salam semoga tercurah untuk  Junjungan kita Nabi Besar Rasulullah SAW. dan para Sahabat serta Pengikutnya sepanjang zaman. Aamiin Yaa Rabb…

Selamat siang dan selamat menjalankan aktifitas untuk kita semua..
Disiang hari yang panas dan terkadang hujan ini, membuat kondisi fisik teruji bagi orang seperti saya yang suka berpanasan tak menentu,, tapi ketika berada di dalam ruangan ber-AC pikiran pun kadang suka kalut melihat tumpukkan kertas yang entah apa isinya,,, fiiiuhhh,,,
Yahhh itu pengantar awal dan sedikit menceritakan aktifitas keseharian saya,, (nggak penting dibaca sih!!) hehehe...

Oke,, masuk ke inti utama penulisan Blog saya saat ini,… Eheem ehhmmm,, cekk sound cekk sound,..
Dalam rangka mengikuti perkembangan zaman di era moderenisasi ini,, saya juga turut termasuk menjadi salah satu diantara sekian banyak orang yang menganutnya,, dan tadi pagi ketika saya menggunakan fasilitas modern (Hape Android) dan membuka sebuah aplikasi Sosmed saya IG ato Instagram,, saya menemukan post-an yang bertema “The Most Beautiful Characteristic is Hayaa”.. what the meaning of Haya??? Dan saya tertarik,, lalu mulai mencari-cari penjelasan tentang apa itu Hayaa,, dan yang membuat saya tertarik karena ini tentang Islam Characteristik.. yaahh,, karena saya belum banyak cukup ilmu,, maka saya seaching2 mencari untuk menambah ilmu tentang ke-Islam-an saya,, 

Berikut rangkuman mengenai Hayaa yang menurut saya para pembaca yang budiman juga perlu tahu,, yahh walau pun sudah tau sih,, hehehe,..

Kesucian diri berarti kemauan seseorang untuk menjalankan hidupnya di atas syariah Islam tanpa dipaksa ataupun terpaksa.  Seseorang yang benar-benar beriman kepada ALlah, Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya dan Hari Pembalasan akan menta'ati Allah karena taqwa dan mencari ridha Allah semata.  Pria dan wanita yang beriman kepada Allah pasti akan menjaga dirinya agar tidak terjerumus ke dalam jurang maksiat dan dosa.  Mereka senantiasa menjaga kesucian dan kehormatan.
                                                  

Untuk tujuan inilah Islam menetapkan asas-asas pendidikan akhlaq.  Dengan pendidikan akhlak seseorang dapat mewarnai dirinya dengan sifat-sifat yang baik dan membersihkan dirinya dari sifat-sifat yang keji.  Di antara sekian banyak Akhlak yang diutamakan dalam Islam adalah sifat haya' (malu).   Menurut bahasa berarti perubahan, kehancuran perasaan atau duka cita yang terjadi pada jiwa manusia karena takut di cela. Adapun asal kata al-hayaa u (malu) berasal dari kata al-hayaatu (hidup), juga berasal dari kata al-hayaa (air hujan). Sedangkan menurut istilah adalah akhlaq yang sesuai dengan sunnah yang membangkitkan fikiran untuk meninggalkan perkara yang buruk sehingga akan menjauhkan manusia dari kemaksiatan dan menghilangkan kemalasan untuk menjalankan hak Allah.


Pengertian haya'sendiri sebetulnya tidak terbatas pada pengertian "malu" saja.  Haya adalah

satu instrumen yang digunakan untuk membina kesucian dan menghalangi Mukminin

dan Mukminat terjatuh kedalam dosa dan maksiat.  Rasulullah telah menegaskan

bahwa:

        “Setiap agama ada akhlaqnya, dan akhlak Islam adalah haya”

        (HR Malik, Ibn Majah, Baihaqi)



        Malu dan iman itu adalah teman seiring dan sejalan.  Bila yang satu diangkat maka yang lain pun akan terangkat pula”

        (HR Muslim)



Islam mendidik masyarakat untuk memiliki dan menghayati sifat haya sehingga mereka bukan saja terlindung dari dosa dan kejahatan, namun juga menyadari bahaya dari niat-niat dan syahwat yang keji serta berusaha menjauhkan diridaripadanya.  Pria dan wanita yang beriman dan telah memiliki sifat haya' akan senantiasa menjaga kesucian dirinya dari perbuatan dosa.



عَنْ أَبِيْ مَسْعُوْدٍٍ اْلأَنْصَاريِ الْبَدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((إِنَّ مِـمَّـا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِِ النُّبُوَّةِ اْلأُوْلَى : إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ ؛ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ)). رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.

Artinya:

“Dari Abu Mas’ûd ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshârî al-Badri radhiyallâhu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah, ‘Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.’”


Malu adalah Ciri Khas Keutamaan Manusia

Ketahuilah, Allah memberikan sifat malu agar manusia menahan diri dari keinginan-keinginannya sehingga tidak berprilaku seperti binatang. Ingatlah ketika Adam dan Hawa memakan buah yang terlarang lalu nampaklah aurat keduanya.

“Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. tatkala keduanya Telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah Aku Telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?" (Qs. Al-A’raaf : 22)


Terdapat banyak jenis-jenis malu, diantaranya :


Malu kepada Allah
Ketahuilah sesungguhnya celaan Allah itu diatas seluruh celaan. Dan pujian Allah subhanahu wata’ala itu diatas segala pujian. Orang yang tercela adalah orang yang dicela oleh Allah. Orang-orang yang terpuji adalah orang-orang yang dipuji oleh Allah. Maka haruslah lebih malu kepada Allah dari pada yang lain.

Malu kepada Allah adalah jalan untuk menegakkan segala bentuk Ketaatan dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan. Karena jika seorang hamba takut di cela Allah, tentunya ia tidak akan menolak ketaatan dan tidak pula mendekati kemaksiatan. Oleh karena itulah malu merupakan sebagian dari iman.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


َاْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ َاْلإِيْمَانُ

Artinya:
“Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan ‘Lâ ilâha illallâh,’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang Iman.”

Malu kepada Manusia
Termasuk jenis malu adalah malunya sebagian manusia kepda sebagian yang lain. Sebagaimana malunya seorang anak kepada orangtuanya, isteri kepada suaminya, orang bodoh kepada orang pandai.

Maksudnya, barangsiapa tidak memiliki rasa malu, maka ia berbuat apa saja yang ia inginkan, karena sesuatu yang menghalangi seseorang untuk berbuat buruk adalah rasa malu. Jadi, orang yang tidak malu akan larut dalam perbuatan keji dan mungkar, serta perbuatan-perbuatan yang dijauhi orang-orang yang mempunyai rasa malu. Ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :


مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.


“Barangsiapa berdusta kepadaku dengan sengaja, hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di Neraka.”
 
Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas bentuknya berupa perintah, namun maknanya adalah penjelasan bahwa barangsiapa berdusta terhadapku, ia telah menyiapkan tempat duduknya di Neraka.


Malunya seseorang terhadap dirinya

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إلاَّ بِخَيْرٍ.


“Malu tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan.”


 Dan ini salah satu bentuk malu yang di rasakan oleh jiwa yang terhormat, tinggi dan mulia, sehingga ia tidak puas dengan kekurangan , kerendahan dan kehinaan. Karena itu engkau akan menjumpai seseorang yang merasa malu kepada dirinya sendiri, seolah-olah di dalam raganya terdapat dua jiwa, yang satu merasa malu kepada yang lain. Malu inilah yang paling sempurna karena jika pada dirinya sendiri saja sudah demikian malu, apalagi terhadap orang lain.


Perkara-Perkara yang Tidak Termasuk Malu

Tidak berkata atau tidak terang-terangan dalam kebenaran, Allah berfirman, “… dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar …” (Qs. Al-Ahzaab : 53)

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Baari berkata, “an tidak boleh dikatakan bahwa bisa jadi malu itu menjadi penghalang untuk berkata yang benar, atau mengerjakan kebaikan karena malu yang seperti itu bukan malu yang syar’i (sesuai syariat)”

Imam an-Nawawi rahimahullah, dalam Syahr Shahih Muslim, “Terjadi masalah pada sebagian orang yaitu orang yang pemalu kadang-kadang merasa malu untuk memberitahukan kebaikan kepada orang yang ia hormati. Akhirnya ia meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar. Terkadang sifat malunya membuat ia melalaikan sebagian apa yang menjadi haknya dan hal-hal lain yang biasa terjadi dalam kebiasaan sehari-hari.”


Qâdhi ‘Iyâdh rahimahullâh dan yang lainnya mengatakan, “Malu yang menyebabkan menyia-nyiakan hak bukanlah malu yang disyari’atkan, bahkan itu ketidakmampuan dan kelemahan. Adapun ia dimutlakkan dengan sebutan malu karena menyerupai malu yang disyari’atkan.”

Dengan demikian, malu yang menyebabkan pelakunya menyia-nyiakan hak Allah Azza wa Jalla sehingga ia beribadah kepada Allah dengan kebodohan tanpa mau bertanya tentang urusan agamanya, menyia-nyiakan hak-hak dirinya sendiri, hak-hak orang yang menjadi tanggungannya, dan hak-hak kaum muslimin, adalah tercela karena pada hakikatnya ia adalah kelemahan dan ketidakberdayaan.


Di antara sifat malu yang tercela adalah malu untuk menuntut ilmu syar’i, malu mengaji, malu membaca Alqur-an, malu melakukan amar ma’ruf nahi munkar yang menjadi kewajiban seorang Muslim, malu untuk shalat berjama’ah di masjid bersama kaum muslimin, malu memakai busana Muslimah yang syar’i, malu mencari nafkah yang halal untuk keluarganya bagi laki-laki, dan yang semisalnya. Sifat malu seperti ini tercela karena akan menghalanginya memperoleh kebaikan yang sangat besar.


Tentang tidak bolehnya malu dalam menuntut ilmu, Imam Mujahid rahimahullah berkata,


لاَ يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلاَ مُسْتَكْبِـرٌ.


“Orang yang malu dan orang yang sombong tidak akan mendapatkan ilmu”


Ummul Mukminin ‘Âisyah Radhiyallâhu ‘anha pernah berkata tentang sifat para wanita Anshâr,


نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ اْلأَنْصَارِ ، لَـمْ يَمْنَعْهُنَّ الْـحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِـي الدِّيْنِ.


“Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshâr. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk memperdalam ilmu Agama”


Para wanita Anshâr radhiyallâhu ‘anhunna selalu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika ada permasalahan agama yang masih rumit bagi mereka. Rasa malu tidak menghalangi mereka demi menimba ilmu yang bermanfaat.


Ummu Sulaim radhiyallâhu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak malu terhadap kebenaran, apakah seorang wanita wajib mandi apabila ia mimpi (berjimâ’)?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Apabila ia melihat air.”


Wanita Muslimah menghiasi dirinya dengan rasa malu. Di dalamnya kaum muslimin bekerjasama untuk memakmurkan bumi dan mendidik generasi dengan kesucian fithrah kewanitaan yang selamat. Al-Qur-anul Karim telah mengisyaratkan ketika Allah Ta’ala menceritakan salah satu anak perempuan dari salah seorang bapak dari suku Madyan. Allah Ta’ala berfirman,


فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا


“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua perempuan itu berjalan dengan malu-malu, dia berkata, ‘Sesungguhnya ayahku mengundangmu untuk memberi balasan sebagai imbalan atas (kebaikan)mu memberi minum (ternak kami)…”[Al-Qashash/28: 25].


Dia datang dengan mengemban tugas dari ayahnya, berjalan dengan cara berjalannya seorang gadis yang suci dan terhormat ketika menemui kaum laki-laki; tidak seronok, tidak genit, tidak angkuh, dan tidak merangsang. Namun, walau malu tampak dari cara berjalannya, dia tetap dapat menjelaskan maksudnya dengan jelas dan mendetail, tidak grogi dan tidak terbata-bata. Semua itu timbul dari fithrahnya yang selamat, bersih, dan lurus. Gadis yang lurus merasa malu dengan fithrahnya ketika bertemu dengan kaum laki-laki yang berbicara dengannya, tetapi karena kesuciannya dan keistiqamahannya, dia tidak panik karena kepanikan sering kali menimbulkan dorongan, godaan, dan rangsangan. Dia berbicara sesuai dengan yang dibutuhkan dan tidak lebih dariitu.
Adapun wanita yang disifati pada zaman dahulu sebagai wanita yang suka keluyuran adalah wanita yang pada zaman sekarang disebut sebagai wanita tomboy, membuka aurat, tabarruj (bersolek), campur baur dengan laki-laki tanpa ada kebutuhan yang dibenarkan syari’at, maka wanita tersebut adalah wanita yang tidak dididik oleh Al-Qur-an dan adab-adab Islam. Dia mengganti rasa malu dan ketaatan kepada Allah dengan sifat lancang, maksiat, dan durhaka, merasuk ke dalam dirinya apa-apa yang diinginkan musuh-musuh Allah berupa kehancuran dan kebinasaan di dunia dan akhirat. Nas-alullaah as-salaamah wal ‘aafiyah.

Ibnul Qayyim:


وَمَنِ اسْتَحْيَ مِنَ اللهِ عِنْدَ مَعْصِيَّتِهِ اِسْتَحَى اللهُ مِنْ عُقُوْبَتِهِ يَوْمَ يَلْقَاهُ وَمَنْ لَمْ يَسْتَحِ مِنَ اللهِ تَعَالَى مِنْ مَعْصِيَّتِهِ لَمْ يَسْتَحِ اللهُ مِنْ عُقُوْبَتِهِ


“Barangsiapa malu terhadap Allah saat mendurhakaiNya, niscaya Allah akan malu menghukumnya pada hari pertemuan dengan-Nya. Demikian pula, barangsiapa tidak malu mendurhakaiNya, niscaya Dia tidak malu untuk menghukumnya”.


wallahu 'alam ...

Semoga Bermanfaat bagi kita semua,… Aamiin Yaa Rabb,… 


Sember




http://badaronline.com/artikel/rahasia-dibalik-kata-al-hayaa-malu-dalam-bahasa-arab.html