Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji Syukur Alhamdulillah selalu kita
panjatkan kepada Allah SWT karna Rahmat dan Hidayah-Nya kita masih bisa
menikmati betapa indahnya kehidupan di dunia ini.
Shalawat serta salam semoga tercurah
untuk Junjungan kita Nabi Besar
Rasulullah SAW. dan para Sahabat serta Pengikutnya sepanjang zaman. Aamiin Yaa
Rabb…
Oke,, masuk ke inti utama penulisan
Blog saya saat ini,… Eheem ehhmmm,, cekk sound cekk sound,..
Dalam rangka mengikuti perkembangan
zaman di era moderenisasi ini,, saya juga turut termasuk menjadi salah satu
diantara sekian banyak orang yang menganutnya,, dan tadi pagi ketika saya
menggunakan fasilitas modern (Hape Android) dan membuka sebuah aplikasi Sosmed
saya IG ato Instagram,, saya menemukan post-an yang bertema “The Most Beautiful
Characteristic is Hayaa”.. what the meaning of Haya??? Dan saya tertarik,, lalu
mulai mencari-cari penjelasan tentang apa itu Hayaa,, dan yang membuat saya
tertarik karena ini tentang Islam Characteristik.. yaahh,, karena saya belum
banyak cukup ilmu,, maka saya seaching2 mencari untuk menambah ilmu tentang ke-Islam-an
saya,,
Berikut rangkuman mengenai Hayaa yang
menurut saya para pembaca yang budiman juga perlu tahu,, yahh walau pun sudah
tau sih,, hehehe,..
Kesucian diri
berarti kemauan seseorang untuk menjalankan hidupnya di atas syariah Islam
tanpa dipaksa ataupun terpaksa.
Seseorang yang benar-benar beriman kepada ALlah, Kitab-Nya,
Rasul-Rasul-Nya dan Hari Pembalasan akan menta'ati Allah karena taqwa dan
mencari ridha Allah semata. Pria dan
wanita yang beriman kepada Allah pasti akan menjaga dirinya agar tidak terjerumus
ke dalam jurang maksiat dan dosa. Mereka
senantiasa menjaga kesucian dan kehormatan.
Untuk tujuan
inilah Islam menetapkan asas-asas pendidikan akhlaq. Dengan pendidikan akhlak seseorang dapat
mewarnai dirinya dengan sifat-sifat yang baik dan membersihkan dirinya dari
sifat-sifat yang keji. Di antara sekian
banyak Akhlak yang diutamakan dalam
Islam adalah sifat haya' (malu). Menurut bahasa berarti perubahan, kehancuran
perasaan atau duka cita yang terjadi pada jiwa manusia karena takut di cela.
Adapun asal kata al-hayaa u (malu) berasal dari kata al-hayaatu (hidup), juga
berasal dari kata al-hayaa (air hujan). Sedangkan menurut istilah adalah
akhlaq yang sesuai dengan sunnah yang membangkitkan fikiran untuk meninggalkan
perkara yang buruk sehingga akan menjauhkan manusia dari kemaksiatan dan
menghilangkan kemalasan untuk menjalankan hak Allah.
Pengertian
haya'sendiri sebetulnya tidak terbatas pada pengertian "malu"
saja. Haya adalah
satu
instrumen yang digunakan untuk membina kesucian dan menghalangi Mukminin
dan Mukminat
terjatuh kedalam dosa dan maksiat.
Rasulullah telah menegaskan
bahwa:
“Setiap
agama ada akhlaqnya, dan akhlak Islam adalah haya”
(HR Malik, Ibn Majah, Baihaqi)
“Malu
dan iman itu adalah teman seiring dan sejalan.
Bila yang satu diangkat maka yang lain pun akan terangkat pula”
(HR Muslim)
Islam
mendidik masyarakat untuk memiliki dan menghayati sifat haya sehingga mereka
bukan saja terlindung dari dosa dan kejahatan, namun juga menyadari bahaya dari
niat-niat dan syahwat yang keji serta berusaha menjauhkan diridaripadanya. Pria dan wanita yang beriman dan telah
memiliki sifat haya' akan senantiasa menjaga kesucian dirinya dari perbuatan
dosa.
عَنْ أَبِيْ مَسْعُوْدٍٍ اْلأَنْصَاريِ الْبَدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((إِنَّ مِـمَّـا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِِ النُّبُوَّةِ اْلأُوْلَى : إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ ؛ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ)). رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.
Artinya:
“Dari Abu Mas’ûd ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshârî
al-Badri radhiyallâhu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, ‘Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh
manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah, ‘Jika engkau tidak malu,
berbuatlah sesukamu.’”
Malu adalah Ciri Khas Keutamaan Manusia
Ketahuilah, Allah memberikan
sifat malu agar manusia menahan diri dari keinginan-keinginannya sehingga tidak
berprilaku seperti binatang. Ingatlah ketika Adam dan Hawa memakan buah yang
terlarang lalu nampaklah aurat keduanya.
“Maka syaitan membujuk keduanya (untuk
memakan buah itu) dengan tipu daya. tatkala keduanya Telah merasai buah kayu
itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya
dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah
Aku Telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu:
"Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?"
(Qs. Al-A’raaf : 22)
Terdapat banyak jenis-jenis malu,
diantaranya :
Malu kepada Allah
Ketahuilah
sesungguhnya celaan Allah itu diatas seluruh celaan. Dan pujian Allah subhanahu
wata’ala itu diatas segala pujian. Orang yang tercela adalah orang yang dicela
oleh Allah. Orang-orang yang terpuji adalah orang-orang yang dipuji oleh Allah.
Maka haruslah lebih malu kepada Allah dari pada yang lain.
Malu kepada Allah adalah jalan
untuk menegakkan segala bentuk Ketaatan dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan.
Karena jika seorang hamba takut di cela Allah, tentunya ia tidak akan menolak
ketaatan dan tidak pula mendekati kemaksiatan. Oleh karena itulah malu
merupakan sebagian dari iman.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َاْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ َاْلإِيْمَانُ
Artinya:
“Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan ‘Lâ ilâha illallâh,’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang Iman.”
“Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan ‘Lâ ilâha illallâh,’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang Iman.”
Malu
kepada Manusia
Termasuk jenis malu adalah malunya sebagian manusia kepda
sebagian yang lain. Sebagaimana malunya seorang anak kepada orangtuanya, isteri
kepada suaminya, orang bodoh kepada orang pandai.
Maksudnya,
barangsiapa tidak memiliki rasa malu, maka ia berbuat apa saja yang ia
inginkan, karena sesuatu yang menghalangi seseorang untuk berbuat buruk adalah
rasa malu. Jadi, orang yang tidak malu akan larut dalam perbuatan keji dan
mungkar, serta perbuatan-perbuatan yang dijauhi orang-orang yang mempunyai rasa
malu. Ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.
“Barangsiapa berdusta kepadaku dengan
sengaja, hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di Neraka.”
Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas bentuknya berupa perintah, namun maknanya adalah penjelasan bahwa barangsiapa berdusta terhadapku, ia telah menyiapkan tempat duduknya di Neraka.
Malunya
seseorang terhadap dirinya
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إلاَّ بِخَيْرٍ.
“Malu tidak mendatangkan sesuatu kecuali
kebaikan.”
Dan ini salah satu bentuk malu yang di rasakan
oleh jiwa yang terhormat, tinggi dan mulia, sehingga ia tidak puas dengan
kekurangan , kerendahan dan kehinaan. Karena itu engkau akan menjumpai
seseorang yang merasa malu kepada dirinya sendiri, seolah-olah di dalam raganya
terdapat dua jiwa, yang satu merasa malu kepada yang lain. Malu inilah yang
paling sempurna karena jika pada dirinya sendiri saja sudah demikian malu, apalagi
terhadap orang lain.
Perkara-Perkara yang Tidak Termasuk Malu
Tidak berkata atau tidak terang-terangan
dalam kebenaran, Allah berfirman, “… dan Allah tidak malu (menerangkan) yang
benar …” (Qs. Al-Ahzaab : 53)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah
dalam Fathul Baari berkata, “an
tidak boleh dikatakan bahwa bisa jadi malu itu menjadi penghalang untuk berkata
yang benar, atau mengerjakan kebaikan karena malu yang seperti itu bukan malu
yang syar’i (sesuai syariat)”
Imam an-Nawawi rahimahullah,
dalam Syahr Shahih Muslim, “Terjadi masalah pada sebagian orang yaitu
orang yang pemalu kadang-kadang merasa malu untuk memberitahukan kebaikan kepada
orang yang ia hormati. Akhirnya ia meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar.
Terkadang sifat malunya membuat ia melalaikan sebagian apa yang menjadi haknya
dan hal-hal lain yang biasa terjadi dalam kebiasaan sehari-hari.”
Qâdhi
‘Iyâdh rahimahullâh dan yang lainnya mengatakan, “Malu yang menyebabkan menyia-nyiakan hak bukanlah malu yang
disyari’atkan, bahkan itu ketidakmampuan dan kelemahan. Adapun ia dimutlakkan
dengan sebutan malu karena menyerupai malu yang disyari’atkan.”
Dengan
demikian, malu yang menyebabkan pelakunya menyia-nyiakan hak Allah Azza wa
Jalla sehingga ia beribadah kepada Allah dengan kebodohan tanpa mau bertanya
tentang urusan agamanya, menyia-nyiakan hak-hak dirinya sendiri, hak-hak orang
yang menjadi tanggungannya, dan hak-hak kaum muslimin, adalah tercela karena
pada hakikatnya ia adalah kelemahan dan ketidakberdayaan.
Di antara sifat malu yang tercela adalah malu untuk menuntut ilmu syar’i, malu mengaji, malu membaca Alqur-an, malu melakukan amar ma’ruf nahi munkar yang menjadi kewajiban seorang Muslim, malu untuk shalat berjama’ah di masjid bersama kaum muslimin, malu memakai busana Muslimah yang syar’i, malu mencari nafkah yang halal untuk keluarganya bagi laki-laki, dan yang semisalnya. Sifat malu seperti ini tercela karena akan menghalanginya memperoleh kebaikan yang sangat besar.
Tentang tidak bolehnya malu dalam menuntut ilmu, Imam Mujahid rahimahullah berkata,
لاَ يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلاَ مُسْتَكْبِـرٌ.
“Orang yang malu dan orang yang sombong tidak
akan mendapatkan ilmu”
Ummul Mukminin ‘Âisyah Radhiyallâhu ‘anha pernah berkata tentang sifat para wanita Anshâr,
نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ اْلأَنْصَارِ ، لَـمْ يَمْنَعْهُنَّ الْـحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِـي الدِّيْنِ.
“Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshâr.
Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk memperdalam ilmu Agama”
Para wanita Anshâr radhiyallâhu ‘anhunna selalu bertanya kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika ada permasalahan agama yang masih rumit bagi
mereka. Rasa malu tidak menghalangi mereka demi menimba ilmu yang bermanfaat.
Ummu Sulaim radhiyallâhu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak malu terhadap kebenaran, apakah seorang wanita wajib mandi apabila ia mimpi (berjimâ’)?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Apabila ia melihat air.”
Wanita Muslimah menghiasi dirinya dengan rasa malu. Di dalamnya kaum muslimin bekerjasama untuk memakmurkan bumi dan mendidik generasi dengan kesucian fithrah kewanitaan yang selamat. Al-Qur-anul Karim telah mengisyaratkan ketika Allah Ta’ala menceritakan salah satu anak perempuan dari salah seorang bapak dari suku Madyan. Allah Ta’ala berfirman,
فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا
“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang
dari kedua perempuan itu berjalan dengan malu-malu, dia berkata, ‘Sesungguhnya
ayahku mengundangmu untuk memberi balasan sebagai imbalan atas (kebaikan)mu
memberi minum (ternak kami)…”[Al-Qashash/28:
25].
Dia datang dengan mengemban tugas dari ayahnya, berjalan dengan cara berjalannya seorang gadis yang suci dan terhormat ketika menemui kaum laki-laki; tidak seronok, tidak genit, tidak angkuh, dan tidak merangsang. Namun, walau malu tampak dari cara berjalannya, dia tetap dapat menjelaskan maksudnya dengan jelas dan mendetail, tidak grogi dan tidak terbata-bata. Semua itu timbul dari fithrahnya yang selamat, bersih, dan lurus. Gadis yang lurus merasa malu dengan fithrahnya ketika bertemu dengan kaum laki-laki yang berbicara dengannya, tetapi karena kesuciannya dan keistiqamahannya, dia tidak panik karena kepanikan sering kali menimbulkan dorongan, godaan, dan rangsangan. Dia berbicara sesuai dengan yang dibutuhkan dan tidak lebih dariitu.
Adapun wanita yang disifati pada zaman dahulu sebagai wanita yang suka keluyuran adalah wanita yang pada zaman sekarang disebut sebagai wanita tomboy, membuka aurat, tabarruj (bersolek), campur baur dengan laki-laki tanpa ada kebutuhan yang dibenarkan syari’at, maka wanita tersebut adalah wanita yang tidak dididik oleh Al-Qur-an dan adab-adab Islam. Dia mengganti rasa malu dan ketaatan kepada Allah dengan sifat lancang, maksiat, dan durhaka, merasuk ke dalam dirinya apa-apa yang diinginkan musuh-musuh Allah berupa kehancuran dan kebinasaan di dunia dan akhirat. Nas-alullaah as-salaamah wal ‘aafiyah.
Ibnul Qayyim:
وَمَنِ اسْتَحْيَ مِنَ اللهِ عِنْدَ مَعْصِيَّتِهِ اِسْتَحَى اللهُ مِنْ عُقُوْبَتِهِ يَوْمَ يَلْقَاهُ وَمَنْ لَمْ يَسْتَحِ مِنَ اللهِ تَعَالَى مِنْ مَعْصِيَّتِهِ لَمْ يَسْتَحِ اللهُ مِنْ عُقُوْبَتِهِ
“Barangsiapa malu terhadap Allah saat
mendurhakaiNya, niscaya Allah akan malu menghukumnya pada hari pertemuan
dengan-Nya. Demikian pula, barangsiapa tidak malu mendurhakaiNya, niscaya Dia
tidak malu untuk menghukumnya”.
wallahu 'alam ...
Semoga Bermanfaat bagi kita
semua,… Aamiin Yaa Rabb,…
Sember
http://badaronline.com/artikel/rahasia-dibalik-kata-al-hayaa-malu-dalam-bahasa-arab.html
